Mengenal Asas-Asas Hukum Acara Perdata Menurut Prof. Dr. Benny Rijanto, S.H., C.N., M.Hum.
Foto : Prof. Dr. Benny Rijanto, S.H., C.N., M.Hum. |
Mengenal asas-asas hukum acara perdata yang diterangkan oleh Prof. Dr. Benny Rijanto, S.H., C.N., M.Hum. dalam modul berjudul Sejarah, Sumber, dan Asas-asas Hukum Acara Perdata.
Dalam modul tersebut, Benny Rijanto menjelaskan sepuluh asas hukum acara perdata. Sepuluh asas tersebut meliputi hakim bersifat menunggu, hakim pasif, hakim aktif, sidang pengadilan terbuka untuk umum, mendengar kedua belah pihak, putusan disertai alasan, hakim menunjuk dasar hukum putusan, hakim harus memutus semua tuntutan, beracara dikenakan biaya, dan tidak ada keharusan untuk mewakilkan.
1. Hakim Bersifat Menunggu
Asas hukum acara perdata pertama yaitu hakim bersifat menunggu, yang berarti hakim menunggu perkara atau gugatan diajukan. apakah suatu perkara atau gugatan akan diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada mereka yang berkepentingan (yang merasa dirugikan). Kalau tidak ada gugatan atau penuntutan, tidak ada hakim. Jadi, yang mengajukan gugatan adalah pihak-pihak yang berkepentingan, sedangkan hakim bersikap menunggu diajukannya suatu perkara atau gugatan (periksa Pasal 118 HIR, Pasal 142 RBg). Ini berarti bahwa hakim tidak boleh aktif mencari-cari perkara (menjemput bola) di masyarakat.
2. Hakim Pasif
Asas kedua yaitu hakim pasif. Hakim harus membatasi ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim sesuai dengan tuntutan dari pihak yang berkepentingan atau pihak yang beperkara. Semuanya tergantung pada (para) pihak, bukan pada hakim. Hakim terikat pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak (secundum allegat iudicare). Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan, demikian ditentukan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009).
3. Hakim Aktif
Asas ketiga yaitu hakim aktif. Hakim harus aktif memimpin sidang, melancarkan jalannya persidangan, membantu para pihak mencari kebenaran, sampai dengan pelaksanaan putusan (eksekusi). Hakim juga wajib mengadili seluruh gugatan dan tidak boleh menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang dituntut.
Keharusan hakim aktif dalam beracara dengan HIR/RBg mulai tampak pada saat penggugat mengajukan gugatannya. Pasal 119 HIR, 143 RBg menentukan bahwa ketua pengadilan negeri berwenang memberi nasihat dan pertolongan waktu dimasukkannya gugatan tertulis, baik kepada penggugat sendiri maupun kuasanya.
4. Sidang Pengadilan Terbuka Untuk Umum
Asas keempat yaitu sidang pengadilan terbuka untuk umum, yang artinya sidang harus terbuka untuk publik kecuali dalam beberapa kasus tertentu yang diatur dalam hukum. Dalam hal ini, masyarakat memiliki hak untuk menghadiri dan mengawasi jalannya sidang, sehingga dapat menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam sistem peradilan.
Adapun tujuan asas ini tidak lain adalah memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta menjamin objektivitas peradilan dengan mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair, tidak memihak, serta putusan yang adil kepada masyarakat. Asas ini dapat kita jumpai dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.
5. Mendengar Kedua Belah Pihak
Asas kelima yaitu mendengar kedua belah pihak, yang berarti hakim harus memberikan kesempatan yang sama untuk kedua belah pihak mengemukakan pendapat dan dalilnya secara adil dan terbuka. Hal ini sangat penting dalam menjamin keadilan dan kebenaran dalam sistem peradilan.
Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang sebagaimana termuat dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Hal tersebut mengandung arti bahwa dalam hukum acara perdata, pihak-pihak beperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil, serta masing-masing harus diberi kesempatan untuk memberikan pendapatnya.
6. Putusan Disertai Alasan
Asas keenam yaitu putusan disertai alasan, yang berarti hakim harus menjelaskan alasan yang mendasari putusan yang diambil. Hal ini penting untuk memberikan kejelasan dan kepastian hukum, sehingga para pihak yang terlibat dapat memahami dasar hukum dari putusan tersebut.
Semua putusan hakim (pengadilan) harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 23 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, Pasal 184 ayat (1) HIR, Pasal 195 RBg, 61 Rv). Alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggungan jawab hakim dari pada putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi, dan ilmu hukum sehingga mempunyai nilai objektif.
7. Hakim Harus Menunjukkan Dasar Hukum Putusannya
Asas ketujuh adalah hakim harus menunjukkan dasar hukum dari putusannya. Hal ini berarti bahwa hakim harus mengacu pada peraturan hukum yang ada dan memberikan alasan yang jelas dan rasional atas keputusan yang diambil. Dengan menunjukkan dasar hukum, hakim dapat memastikan bahwa putusannya didasarkan pada prinsip-prinsip hukum yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Hal ini juga memastikan keadilan bagi para pihak yang terlibat dalam perkara.
8. Hakim Harus Memutuskan Semua Tuntutan
Asas kedelapan dalam hukum acara perdata adalah bahwa hakim harus memutuskan semua tuntutan penggugat dan tidak boleh memutus lebih atau lain dari pada yang dituntut. Ini dikenal sebagai prinsip iudex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur, di mana hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya.
Selain hakim dalam putusan harus menunjuk dasar hukum yang dipakai sebagai dasar putusannya, hakim harus pula memutus semua tuntutan dari pihak (Pasal 178 ayat (2) HIR, 189 ayat (2) RBg). Misalnya, penggugat mengajukan tuntutan-tuntutan 1) tergugat dihukum mengembalikan utangnya; 2) tergugat dihukum membayar ganti rugi; 3) tergugat dihukum membayar bunga maka tidak satu pun dari tuntutan tersebut boleh diabaikan oleh hakim. Mengenai hakim akan menolak atau mengabulkan tuntutan tersebut, hal itu tidak menjadi masalah, tergantung dari terbukti atau tidaknya hal-hal yang dituntut tersebut.
9. Beracara Dikenakan Biaya
Asas hukum acara perdata yang kesembilan adalah dalam proses beracara, biaya dapat dikenakan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam perkara (Pasal 182, 183 HIR, 145 ayat (4), 192—194 RBg). Biaya yang dimaksud mencakup biaya kepaniteraan, biaya untuk panggilan, pemberitahuan para pihak dan biaya materai.
Namun demikian, dalam praktiknya, biaya-biaya ini dapat dihapuskan atau dikurangi jika pihak yang terlibat tidak mampu membayar. mereka yang memang benar-benar tidak mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (prodeo) dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari membayar biaya perkara dan dengan melampirkan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh pejabat setempat.
10. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
Asas hukum acara perdata yang kesepuluh adalah bahwa tidak ada keharusan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara untuk mewakilkan diri. Pihak yang terlibat dapat datang langsung ke pengadilan tanpa harus menggunakan jasa pengacara atau perwakilan lainnya.
Namun, bagi pihak yang tidak memiliki pengalaman dalam hal hukum dapat juga dibantu atau diwakili oleh kuasanya apabila dikehendaki (Pasal 123 HIR/ Pasal 147 RBg). Dengan demikian, hakim tetap wajib memeriksa perkara yang diajukan kepadanya meskipun para pihak tidak mewakilkannya kepada seorang kuasa.
Dalam ringkasan, asas-asas hukum acara perdata yang diterangkan oleh Benny Rijanto dalam modul berjudul Sejarah, Sumber, dan Asas-asas Hukum Acara Perdata adalah hakim bersifat menunggu, hakim pasif, hakim aktif, sidang pengadilan terbuka untuk umum, mendengar kedua belah pihak, putusan disertai alasan, hakim menunjuk dasar hukum putusan, hakim harus memutus semua tuntutan, beracara dikenakan biaya, dan tidak ada keharusan untuk mewakilkan. Asas-asas ini bertujuan untuk memastikan bahwa proses pengadilan berlangsung secara adil dan teratur, serta memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara.