-->

Penolakan Raperda Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Sidoarjo Tahun 2024 : Tanda Bahaya dalam Tata Kelola Pemerintahan Daerah

Penolakan DPRD Kabupaten Sidoarjo terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Tahun 2024
Suasana Sidang Paripurna DPRD Sidoarjo dan Konpers Koalisi Sidoarjo Maju (Foto: istimewa/diolah)

Penolakan DPRD Kabupaten Sidoarjo terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2024 bukan sekadar gejolak politik musiman. Ia merupakan indikator krisis kepercayaan masyarakat Sidorjo terhadap Pemerintah Daerah, sekaligus cermin retaknya akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah. Dalam iklim demokrasi lokal yang sehat, peristiwa semacam ini seharusnya menjadi momentum koreksi serius bukan dibiarkan sebagai sandiwara elite yang hanya menyisakan kerugian bagi publik.

Mayoritas fraksi DPRD yang tergabung dalam Koalisi Sidoarjo Maju (terdiri dari tujuh partai politik besar) menolak pengesahan Raperda tersebut. Bukan tanpa alasan. Ada sejumlah catatan kritis: janji pemerintah daerah untuk menciptakan 100 ribu lapangan kerja dinilai tak punya peta jalan yang jelas; banjir tahunan masih melanda wilayah seperti Waru, Taman, Porong, dan Sedati; masih maraknya pungutan liar di sekolah dan bangunan serta gedung masih memprihatinkan; Tata kelola anggaran, meski belanja daerah dikucurkan untuk infrastruktur jalan namun hasilnya tidak mencerminkan perbaikan siknifikan.

Penolakan ini adalah hak dan fungsi konstitusional DPRD dalam rangka pengawasan dan pengendalian anggaran. Berdasarkan Pasal 320 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, kepala daerah wajib menyampaikan Raperda pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan. DPRD memiliki kewenangan untuk menilai, menyetujui, atau bahkan menolak jika laporan tersebut tidak mencerminkan kinerja anggaran yang baik.

Sebab, jika laporan pertanggungjawaban keuangan tidak mencerminkan ketercapaian output dan outcome kebijakan publik, maka pemerintah daerah bukan hanya gagal secara teknis, melainkan juga secara etis dan normatif. Prinsip transparansi dan akuntabilitas, yang menjadi pilar dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, telah dilanggar secara substantif.

Meski Kepala Daerah dapat menyusun dan menetapkan Perkada tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sebagaimana Pasal 197 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah setelah tidak mendapat persetujuan dari DPRD namun dengan adanya permasalahan tersebut pemerintah daerah Sidoarjo harus melibatkan pemerintahan vertikal dalam hal penyelesaiannya. Artinya, jika konflik ini tidak segera diakhiri, proses pemerintahan di Sidoarjo berisiko kehilangan kedaulatan fiskalnya dan bergantung pada fasilitasi pemerintah provinsi dan pusat. Ini melemahkan semangat otonomi daerah.

Rapat paripurna yang diselenggarakan pada Rabu, 16 Juli 2025 mengenai penyampaian PA Fraksi-fraksi dan pengambilan keputusan DPRD Sidoarjo terhadap raperda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2024 yang melahirkan penolakan oleh DPRD, menandai adanya keretakan kepercayaan antara lembaga eksekutif dan legislatif, dan patut dipertanyakan apakah tata kelola APBD di Sidoarjo selama ini telah sesuai prinsip value for money, yakni efisiensi, efektivitas, dan ekonomis. Bila tidak, ini bukan sekadar penolakan administratif, tetapi dugaan pelanggaran prinsipil terhadap tata kelola keuangan negara yang dapat dikenakan konsekuensi hukum lebih lanjut.

Penolakan Raperda ini seharusnya menjadi panggilan untuk berbenah. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo harus membuka data, menjelaskan realisasi program, dan menunjukkan progres berbasis indikator yang terukur. Di sisi lain, DPRD pun tidak boleh menjadikan penolakan ini sebagai alat tawar-menawar politik. Artinya DPRD harus konsisten dengan penolakan yang dilakukan, karena pendapat yang telah disampaikan melalui paripurna adalah representase dari Masyarakat Sidoarjo. DPRD juga harus memainkan fungsi oversight-nya secara berani namun konstruktif. Penolakan harus dibarengi solusi, kritik harus disertai alternatif. Jika tidak, publik hanya akan menyaksikan perseteruan elite yang menjauh dari kebutuhan rakyat.

Penolakan tanpa langkah konkret hanya akan menciptakan kebuntuan birokrasi tanpa arah perbaikan. Sebaliknya, DPRD dapat membuktikan bahwa sikap kritis mereka bukan sekadar retorika, melainkan bentuk tanggung jawab konstitusional dalam mengawasi jalannya pemerintahan dan memastikan anggaran publik digunakan sesuai prinsip akuntabilitas, transparansi, dan keberpihakan kepada rakyat.

Akhirnya, peristiwa ini tidak bisa dibiarkan selesai hanya dengan intervensi Gubernur dan Pemerintah Pusat atau pernyataan pers. Harus ada reformasi dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban APBD. Karena sebagus apapun dokumen anggaran, jika tidak dikawal akuntabilitasnya, ia akan tetap menjadi angka-angka tanpa makna.

Jika momentum ini diabaikan, maka kita bukan hanya menyaksikan kegagalan satu Raperda, tapi kegagalan seluruh sistem demokrasi lokal yang seharusnya menjadi tulang punggung pembangunan Indonesia dari bawah.