Daulat Administrasi dan Simptom Ketertinggalan Digital Indonesia
![]() |
Foto : Daulat Administrasi dan Simptom Ketertinggalan Digital Indonesia, diolah |
Intro
Negara modern tidak hanya berdiri di atas hukum dan politik, tetapi juga atas kedaulatan administratif dan integritas data publik. Ketika sistem administrasi gagal memverifikasi kebenaran dokumen atau menjaga keamanan data, negara kehilangan sebagian dari kedaulatannya sendiri. Fenomena ini, yang bisa disebut sebagai hilangnya daulat administrasi, menjadi semakin nyata dalam dua isu popular di Indonesia : polemik ijazah palsu dan kebocoran data yang selalu disangkutkan dengan salah seorang hacker Bjorka.
Isu ijazah palsu telah muncul sejak 2022 ketika Bambang Tri Mulyono menggugat Presiden Joko Widodo atas dugaan penggunaan ijazah palsu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan ini sempat menimbulkan kontroversi publik dan memicu klaim dari tokoh-tokoh seperti Roy Suryo, yang menuntut klarifikasi dokumen akademik Presiden dan sejumlah tokoh publik lainnya, termasuk Gibran Rakabuming Raka. Kasus ini menunjukkan bahwa validitas data akademik menjadi perdebatan publik dan membuka celah krisis kepercayaan terhadap institusi pendidikan dan pemerintah, termasuk Kemendikbud Ristek (sekarang Kemendiktisaintek).
Paralel dengan itu, kasus Bjorka menyoroti ketidakmampuan negara dalam menjaga keamanan data digital. Mulai muncul sekitar 2022, akun X (dulu twitter) “Bjorka” mengklaim menguasai database publik, dan serangan terus terjadi hingga 2025, ketika WFT ditangkap sebagai tersangka utama. Insiden ini mengungkap kelemahan trust infrastructure digital pemerintah, sekaligus memperlihatkan kerentanan sistem informasi nasional.
Untuk diketahui, opini ini tidak memfokuskan pada tuduhan individu, lembaga, atau politik praktis, melainkan melihat fenomena sebagai indikator kegagalan sistemik republik tercinta ini dalam menjaga integritas administrasi publik dan kebenaran digital negara.
Memahami Konsep Daulat Administrasi
Daulat administrasi adalah kedaulatan negara atas sistem pengelolaan, validasi, dan kebenaran data publik. Lebih dari sekadar efisiensi birokrasi, konsep ini mencakup kemampuan negara untuk menjamin bahwa setiap dokumen, arsip, dan data yang diterbitkan memiliki keaslian yang otentik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Teori birokrasi Max Weber (1978) menjelaskan administrasi publik sebagai instrumen rasional untuk menjamin ketertiban sosial dan legalitas. Namun, dalam era digital, teori New Public Governance (Osborne, 2006) dan Digital Era Governance (Dunleavy & Margetts, 2006) menekankan koordinasi lintas jaringan dan integritas data sebagai inti dari legitimasi administratif. Castells (1996) menegaskan bahwa masyarakat jaringan membuat data dan informasi menjadi modal utama kekuasaan; negara yang gagal mengelola ini kehilangan otoritas epistemiknya.
Dengan kata lain, daulat administrasi bukan hanya tentang birokrasi yang efisien, tetapi tentang kemampuan negara menjadi sumber kebenaran administratif yang otentik dan dapat dipercaya publik.
Krisis Kebenaran Administratif dalam Kasus Ijazah Palsu
Fenomena ijazah palsu di Indonesia dapat ditelusuri secara kronologis :
2022: Bambang Tri Mulyono menggugat Presiden Joko Widodo di PN Jakarta Pusat terkait dugaan penggunaan ijazah palsu. Kemendikbud Ristek (sekarang Kemendiktisaintek) menegaskan ijazah tersebut sahih dan terdaftar secara resmi, sementara UGM menegaskan Jokowi adalah alumnus mereka.
2023: Isu ini terus diperkuat melalui media sosial dan komentar publik oleh tokoh seperti Roy Suryo, yang mempertanyakan keaslian dokumen akademik dan menuntut bukti publik. Publik figur lain, termasuk Wakil Presiden sekarang, Gibran Rakabuming Raka, juga sempat dikaitkan, meskipun tidak ada bukti formal yang valid.
2024–2025: Isu kembali mengemuka menjelang Pemilu 2024 dan setelahnya, menegaskan kegagalan sistem verifikasi akademik nasional. Database perguruan tinggi yang belum sepenuhnya terintegrasi dengan Kemendiktisaintek memungkinkan munculnya keraguan publik, hal ini memperlihatkan bahwa negara sedang mengalami kehilangan sebagian dari daulat administrasinya.
Kalau sudah begini, bagaimana perguruan tinggi kita akan mampu bersaing dengan perguruan tinggi luar negeri? Kalau perguruan tinggi minus daya saing, lantas pendidikan tingginya surplus apa?
Terlepas dari siapa yang menuding atau siapa yang dituding dalam kasus ijazah palsu ini, fokus utamanya adalah tetap pada sisi kelemahan sistem administratif, termasuk ketiadaan mekanisme audit data berkala, interoperabilitas yang rendah antar lembaga, dan kurangnya transparansi dalam validasi dokumen pendidikan tinggi.
Bjorka dan Runtuhnya Daulat Digital Negara
Kasus Bjorka menambah dimensi digital pada krisis daulat administrasi:
2022: Nama “Bjorka” muncul di forum Breached Forums, mengklaim memiliki data kependudukan 105 juta orang.
2023: Serangkaian kebocoran data terjadi, termasuk data pribadi pejabat dan SIM card. Media mulai memperhatikan ancaman keamanan data digital publik.
Februari 2025: Akun X (alias Bjorka) mengklaim memiliki database 4,9 juta nasabah bank.
September 2025: WFT, berusia 22 tahun, ditangkap sebagai tersangka. Meskipun begitu, serangan digital terhadap data negara masih berlangsung, termasuk klaim kebocoran 341.000 data personel Polri pada Oktober 2025.
Kasus ini memperlihatkan bahwa negara tidak lagi menjadi satu-satunya pengelola kebenaran digital, melainkan rentan terhadap manipulasi dan bocornya informasi penting. Kekalahan negara dalam menjaga keamanan data publik merupakan gejala jelas hilangnya daulat administrasi di ranah digital.
Negara, Birokrasi, dan Kebenaran yang Ditinggalkan
Birokrasi modern seharusnya menjadi penjaga kebenaran administratif. Namun, kasus ijazah palsu dan kasus Bjorka menunjukkan satu hal yang jelas: negara tidak lagi menjadi pengawal tunggal kebenaran administratifnya sendiri. Ketika sistem verifikasi pendidikan tinggi mudah dipertanyakan, dan database publik dapat dibobol oleh peretas muda, maka legitimasi birokrasi dan otoritas negara ikut terkikis.
Ini bukan hanya soal keamanan digital atau integritas akademik individu. Ini adalah sinyal krisis struktural: negara kehilangan daulat administrasi, artinya rakyat tidak lagi bisa percaya bahwa dokumen, data, dan keputusan publik adalah benar dan sah. Kelemahan ini membuka ruang bagi spekulasi, tuduhan publik, dan manipulasi informasi yang merugikan institusi dan masyarakat secara keseluruhan.
Jika dibiarkan, Indonesia tidak hanya tertinggal dalam persaingan global, tetapi juga menyerahkan kedaulatannya sendiri kepada kekuatan digital yang tidak dapat diawasi.
Daulat administrasi hanya bisa dicapai dengan langkah revolusioner seperti : audit menyeluruh, integrasi database, dan penguatan etika serta akuntabilitas birokrasi. Tanpa itu, legitimasi negara tetap rapuh, dan kebenaran publik akan selalu dipertaruhkan.
Negara tidak kehilangan kedaulatan di medan perang fisik saja; ia bisa kalah di medan data, dan saat itu terjadi, kebenaran menjadi barang yang diperebutkan. Indonesia tidak boleh menyerah di medan ini.
Referensi
- Castells, M. (1996). The Rise of the Network Society. Blackwell Publishing.
- Detik.com. (2022–2025). Berbagai artikel terkait kasus ijazah palsu dan Bjorka. https://www.detik.com
- Dunleavy, P., & Margetts, H. (2006). Digital Era Governance. Oxford University Press.
- Osborne, S. P. (2006). The New Public Governance? Public Management Review, 8(3), 377–387.
- Tempo.co. (2025). Hacker Bjorka membobol data pribadi 341 ribu personel Polri. https://www.tempo.co
- Weber, M. (1978). Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology. University of California Press.
- BBC Indonesia. (2022–2025). Berita terkait keamanan data dan kasus Bjorka. https://www.bbc.com/indonesia