-->

Kekuasaan yang Melampaui Aturan: Anomali Penunjukan Plt. Direksi Perumda Delta Tirta Sidoarjo

Penunjukan Plt. Direksi Perumda Delta Tirta Sidoarjo dinilai melanggar asas legalitas dan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
FOTO: Penunjukan Plt. Direksi Perumda Delta Tirta Sidoarjo, diolah.

Penunjukan Kepala Cabang Taman sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Operasional Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Delta Tirta Sidoarjo tampak seperti keputusan administratif biasa. Namun di baliknya tersembunyi persoalan serius tentang pelanggaran prinsip dasar dalam hukum administrasi negara: asas legalitas dan kepastian hukum.

Keputusan tersebut bukan sekadar persoalan siapa yang menduduki jabatan sementara, melainkan menyentuh inti dari legitimasi tindakan pemerintahan. Dalam kerangka negara hukum (rechtstaat), setiap tindakan pejabat publik harus bersumber dari kewenangan yang sah, bukan dari kehendak subjektif atau kebutuhan pragmatis birokrasi. Kewenangan tidak dapat diimprovisasi. Ia harus berakar pada norma hukum yang tegas dan dapat diverifikasi.

Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah dan Permendagri Nomor 23 Tahun 2024 tentang Organ dan Kepegawaian BUMD Air Minum telah mengatur secara eksplisit mekanisme pengisian kekosongan jabatan Direksi. Dalam hal terjadi kekosongan jabatan selain Direktur Utama, pelaksanaan tugas dapat diberikan kepada anggota Direksi lainnya atau pejabat internal tertinggi di bawah Direksi yang ditunjuk oleh Kepala Daerah selaku Kuasa Pemilik Modal (KPM). Norma ini bersifat limitatif, membatasi secara ketat siapa yang dapat diangkat sebagai Plt. Direksi.

Kepala Cabang secara struktural tidak termasuk dalam kategori tersebut. Ia bukan pejabat manajerial tertinggi di bawah Direksi, melainkan pejabat operasional di tingkat pelaksana. Karena itu, pengangkatannya sebagai Plt. Direktur Operasional merupakan bentuk pelampauan kewenangan (detournement de pouvoir) yang secara yuridis tidak dapat dibenarkan. Dalam perspektif hukum administrasi, tindakan tanpa dasar kewenangan yang sah disebut onbevoegdheid, dan segala akibat hukumnya dapat dinyatakan batal demi hukum (nietig van rechtswege).

Asas legalitas (principle of legality  atau wetmatigheid van het bestuur) merupakan fondasi dari seluruh tindakan pemerintahan. Ia memastikan bahwa negara tidak bertindak sewenang-wenang, melainkan tunduk pada hukum. Pelanggaran terhadap asas ini berarti pelanggaran terhadap prinsip dasar penyelenggaraan pemerintahan. Dalam teori hukum administrasi klasik, asas legalitas adalah wujud pengendalian terhadap kekuasaan agar tidak berubah menjadi tindakan administratif yang sewenang-wenang (arbitrair bestuur).

Dalam konteks Perumda Delta Tirta, pengangkatan Plt. yang tidak sesuai aturan bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi juga mengandung implikasi hukum yang jauh lebih luas. Setiap keputusan yang diambil oleh pejabat tersebut baik berupa kebijakan teknis, penandatanganan kontrak, maupun pengelolaan operasional berpotensi cacat hukum karena dikeluarkan oleh pejabat yang tidak sah secara yuridis. Artinya, seluruh keputusan tersebut tidak memiliki legitimasi hukum dan berpotensi menimbulkan kerugian bagi keuangan daerah maupun pihak ketiga yang bekerja sama dengan Perumda Delta Tirta.

Lebih jauh, tindakan ini mencederai asas kepastian hukum (principle of legal certainty), yang dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan ditegaskan sebagai pedoman utama bagi setiap tindakan pejabat publik. Asas kepastian hukum menuntut agar setiap keputusan didasarkan pada aturan yang jelas, tidak ambigu, dan dapat dipertanggungjawabkan. Ketika jabatan Plt. Direksi diisi oleh pejabat yang tidak memiliki legitimasi hukum, maka setiap tindakannya berada dalam ruang abu-abu legalitas sah secara faktual, tetapi tidak sah secara yuridis.

Pengangkatan pejabat yang tidak memenuhi syarat formal juga bertentangan dengan prinsip Good Corporate Governance (GCG). Sebagai entitas publik, BUMD wajib menerapkan nilai-nilai tata kelola yang baik: transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi, dan keadilan. Namun, bagaimana prinsip-prinsip ini bisa dijalankan jika dasar kewenangan pejabat yang memimpin operasional perusahaan itu sendiri bermasalah? Proses pengangkatan yang tidak taat hukum tidak hanya menodai prinsip akuntabilitas, tetapi juga menurunkan kepercayaan publik terhadap integritas tata kelola pemerintah daerah.

Sering kali, alasan “keadaan mendesak” digunakan sebagai pembenaran untuk menunjuk pejabat sementara di luar ketentuan. Namun, perlu digarisbawahi bahwa diskresi tidak dapat dijadikan alasan untuk menabrak hukum. Berdasarkan Pasal 22 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, diskresi hanya dapat digunakan apabila tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan dilakukan semata-mata untuk kepentingan umum. Jika diskresi digunakan untuk melanggar batas kewenangan yang telah diatur secara tegas, maka tindakan tersebut bukan lagi diskresi, melainkan penyalahgunaan wewenang.

Pelanggaran terhadap asas legalitas dalam penunjukan pejabat bukanlah sekadar kesalahan administratif yang dapat diperbaiki dengan surat keputusan baru. Ia merupakan bentuk pembiaran terhadap pelonggaran hukum yang berbahaya. Jika praktik semacam ini dibiarkan, maka asas legalitas akan kehilangan maknanya sebagai pagar terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan. Dalam jangka panjang, ini akan menggerus kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan tata kelola pemerintahan daerah.

Kepala Daerah sebagai Kuasa Pemilik Modal memiliki tanggung jawab hukum dan moral untuk menegakkan aturan secara konsisten. Kepatuhan terhadap hukum bukanlah pilihan, melainkan keharusan dalam negara hukum. Mengabaikan aturan atas nama kepraktisan hanya akan memperlihatkan bahwa hukum dijadikan alat legitimasi kekuasaan, bukan instrumen pengendali kekuasaan.

Karena itu, penunjukan Kepala Cabang sebagai Plt. Direktur Operasional Perumda Delta Tirta seharusnya ditinjau ulang. Keputusan tersebut jelas tidak sejalan dengan norma yang berlaku, menyalahi prinsip kewenangan, dan bertentangan dengan asas legalitas serta kepastian hukum. Sebuah kebijakan publik, betapapun baik niatnya, tidak dapat dibenarkan apabila dilahirkan dari proses yang cacat hukum.

Negara hukum menuntut pemerintahan berjalan dengan dasar legitimasi, bukan kehendak. Dalam konteks ini, penghormatan terhadap asas legalitas bukan semata urusan teks peraturan, melainkan soal integritas moral penyelenggara negara. Kepatuhan pada hukum adalah wujud penghormatan terhadap keadaban administratif dan martabat pemerintahan. Hanya dengan itu, kita dapat membangun tata kelola pemerintahan daerah yang benar-benar berlandaskan pada prinsip hukum, bukan pada logika kekuasaan.

“Kepatuhan terhadap aturan bukan formalitas. Ini soal menjaga wibawa hukum dan memastikan setiap kebijakan publik lahir dari proses yang sah”